Pages

Senin, 09 Juli 2012

SUMPAH ALLAH


Sumpah (Qasam) dalam al-Qur’an
A.    Pendahuluan
Sumpah atau al-qasam merupakan suatu hal atau kebiasaan bangsa Arab dalam berkomunikasi untuk menyakinkan lawan bicaranya. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh bangsa Arab merupakan suatu hal yang oleh al-Qur’an direkonstruksi bahkan ada yang didekonstruksi nilai dan maknanya. Oleh karena itu, al-Qur’an diturunkan di lingkungan bangsa Arab dan juga dalam bahasa Arab, maka Allah juga menggunakan sumpah dalam mengkomunikasikan Kalam-­Nya.[1]
Bahkan kebiasaan dalam hal bersumpah tersebut sudah ada sejak nilai doktrin Islam belum eksis tatanan bangsa Arab. Meskipun bangsa Arab dikenal dengan menyembah berhala (paganism) mereka tetap rnenggunakan kata Allah dalam sumpahnya, seperti disinyalir oleh al-Qur’an dalam surat Al-Fathiir ayat 42 yang berbunyi:
Artinya:”Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah; Sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, Maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran)”. (QS. Al-Fathiir 35: 42)
Atau dalam surat An-Nahl ayat 38 yang berbunyi:
Artinya:”Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati”. (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. (QS. An-Nahl 16: 38).
Namun, konsep sumpah tersebut berbeda dengan kebiasan bangsa Indonesia, sumpah lebih mengacu kepada sebuah kesaksian atau menguatkan kebenaran sesuatu dalam forum resmi, seperti kesaksian saksi dalam pengadilan dan sumpah jabatan, dengan tekad menjalankan tugas dengan baik. Kesiapan jiwa setiap individu dalam menerima kebenaran dan tunduk terhadap cahanya itu berbeda-beda. Jiwa yang jernih yang fitrahnya tidak ternoda kejahatan akan segera menyambut petunjuk dan membukakan pintu hati bagi sinarnya serta berusaha mengikutinya sekalipun petunjuk itu sampai kepadanya hany sepintas kilas. Sedangkan jiwa yang tertutup awan kejahilan dan diliputi gfelapnya kebatilan tidak tergoncang hatinya kecuali dengan pukulan peringatan dan bentuk kalimat yang kuat lagi kokoh, sehingga dengan demikian barulah tergoncang keingkarannya itu.
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memberi penegasan akan sebuah penyataan. Penegasan itu berbentuk pernyataan”sumpah” yang langsung difirmankan oleh Allah SWT. Sumpah dalam konotasi bahasa al-Qur’an disebut qasam. Qasam (sumpah) dalam pembicaraan termasuk salah satu uslub pengukuhan kalimat yang diselingi dengan bukti yang konkrit dan dapat menyeret lawan untuk mengakui apa yang diingkarinya. Dengan memahmi permasalahan di atas pemakalah ingin membahasnya dalam suatu pembahasan tentang: “Sumpah (Qasam) dalam al-Qur’an”.
Pada pembahasan ini pemakalah ingin menguraikan beberapa pembahasan yang berkaitan dengan pengertian Qasmul al-Qur’an, Macam-macam sumpah, beda sumpah Allah dengan sumpah manusia, Peranannya dalam memahami/menafsirkan al-Qur’an.

 B.     Pengertian Qasmul al-Qur’an
Aqsam adalah bentuk jamak dari “qasam” yang mengandung arti “sumpah”.[2] Dalam bahasa Arab, kata “sumpah” juga sering disebut dengan “al-hilf” (الحلف)  atau “al-yamin” (المين). Adapun shighat asli dari kata “qasam ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang di-muta’addi (transitif)-kan dengan “ba” menjadi muqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah), kemudian muqsam alaih, yang dinamakan dengan jawab qasam.[3] Misalnya firman Allah SWT:
وَأَقْسَمُوْا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ يَبْعَثُ الله ُمَنْ يَمُوتُ
Mereka bersumpah dengan nama Allah, dengan sumpah yang sungguh-sungguh, bahwasanya Allah tidak membangkitkan orang yang mati.” (QS. An-Nahl: 38).

Menurut bahasa, aqsam merupakan bentuk jamak dari kata qasam yang berarti sumpah. Sedangkan secara menurut istilah aqsam dapat diartikan sebagai ungkapan yang dipakai guna memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan dengan menggunakan kata-kata qasam. Namun dengan pemakaiannya para ahli ada yang hanya yang menggunakan istilah al-Qasam saja seperti dalam kitab al-Burhan fi Ulumil Qur’an karangan imam Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi. Ada juga yang mengidofatkannya dengan al-Qur’an, sehingga menjadi Aqsamul Qur’an seperti yang dipakai dalam kitab al-Itqan fi Ulumil Qur’an karangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Kedua istilah tersebut hanya berbeda pada konteks pemakaian katanya saja, sedangkan maksudnya tidak jauh berbeda.
Kalau demikian maka yang dimaksud dengan aqsamul Qur’an adalah salah satu dari ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah, dan rahasia sumapah-sumpah Allah yang terdapat dalam al-Qur’an. Selain pengertian diatas, qasam dapat puladiartikan dengan gaya bahasa Al-Qur’an menegaskan atau mengukuhkan suatu pesan atau pernyataan menyebut nama Allah atau ciptaan-Nya sebagai muqsam bih. Dalam Al-Qur’an, ungkapan untuk memaparkan qasam adakalanya dengan memakai kata aqsama, dan kadang-kadang dengan menggunakan kata halafa. Contoh penggunaan kedua kata tadi antara lain sebagai berikut:
Artinya: “(Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Alla) lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan musyrikin) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta.” (QS. Al-Mujadilah: 18).

Artinya: “Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu Mengetahui”.(Al-Waqi’ah: 76)

Qasam dan yamin mempunyai makna yang sama. Qasam didefenisikan sebagai “mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan “suatu makna” yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara i’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu. Sumpah dinamakan juga dengan “yamin” (tangan kanan), karena orang Arab ketika bersumpah memegang tangan kanan orang yang diajak bersumpah.”[4]
Abu al-Qosim al-Qusyairiy menerangkan bahwa rahasia Allah SWT menyebutkan kalimat “qasam” atau sumpah dalam Kitab-Nya adalah untuk menyempurnakan serta menguatkan “hujjah”Nya, dan dalam hal ini, kalimat “qasam” memiliki dua keistimewaan, yaitu pertama sebagai “syahadah” atau persaksian serta penjelasan; dan kedua sebagai “qasam” atau sumpah itu sendiri.[5]

C.    Macam-macam sumpah
Qasam dalam al-Qur’an ada dua macam. Sebagaimana Manna’ Al-Qaththan yang dikutip oleh Hasan Zaini dan Radhiatul Hasnah bahwa Qasam itu adakalanya zhahir dan adakalanya mudmar.[6]
1)      Zhahir, ialah sumpah di dlamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa ba, wawu, dan ta. Seperti dalam firman Allah SWT: 

Artinya: “Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah: 1-2).
Dan ada juga yang didahului oleh “la hafy”, seperti:
لآأُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ وَلآ أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
Artinya: “Tidak sekali-kali, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-kali, Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah: 1-2).

Sebagian ulama mengatakan, “la” di dua tempat ini adalah “la nafy”, untuk menafikan sesuatu yang tidak disebutkan yang sesuai dengan konteks sumpah. Dan misalnya adalah:
“Tidak benar apa yang kamu sangka, bahwa hisab dan siksa itu tidak ada.”
Kemudian baru dilanjutkan dengan kalimat berikutnya:
“Aku bersumpah dengan Hari Kiamat dan dengan nafsu lawwamah, bahwa kamu kelak akan dibangkitkan”.
Ada pula yang mengatakan bahwa “la” tersebut untuk menafikan qasam, seakan-akan Ia mengatakan, “Aku tidak bersumpah kepadamu dengah hari itu dan nafsu itu.Tetapi Aku bertanya kepadamu tanpa sumpah, apakah kamu mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan tulang belulangmu setelah hancur berantakan karena kematian? Masalahnya sudah amat jelas, sehingga tidak lagi memerlukan sumpah.”
Tetapi juga ada berpendapat bahwa “La” tersebut za’idah (tambahan). Jawaban qasam dalam ayat di atas tidak disebutkan, indikasinya adalah ayat sesudahnya (Al-Qiyamah: 3). Penjelasannya ialah: “Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dihisab.”
2)      Mudhmar ialah yang di dalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh “lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti firman Allah:


Artinya: Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan. (Al-Imran: 186)

Selanjutnya, apabila qasam berfungsi untuk memperkuat muqsam ‘alaih, maka beberapa fi’il dapat difungsikan sebagai qasam jika konteks kalimatnya menunjukkan makna qasam. Misalnya dalam QS. Ali Imran ayat 187:
وإذ أخذ الله  ميثاق الذين أوتوا الكتاب لَتُبَيِّنَنَّهُ للناس
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia….”

Huruf “lam” pada ayat:   لَتُبَيِّنَنَّهُ للناس  adalah “lam qasam”, dan kalimat sesudahnya adalah jawab qasam, sebab “akhzu al-mitsaaq” bermakna “istihlaf” (mengambil sumpah).[7] Dan atas dasar ini pula, maka para mufassir menganggap sebagai qasam terhadap beberapa ayat di bawah ini, di antaranya pada:
a)      QS. Al-Baqarah: 83 “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah….
b)      QS. Al-Baqarah: 84 “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): Kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang)…..
c)      QS. An-Nur: 55 “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalelh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa….

D.    Beda sumpah Allah dengan sumpah manusia
Selain bersumpah dengan zat-Nya, di dalam Al-Qur’an, Tuhan pun bersumpah dengan menggunakan sebagian dari makhluk-Nya sebagai obyek-obyek sumpah, seperti waktu, tempat, Al-Qur’an, dan benda-benda tertentu. Jika yang menggunakan sumpah (al-muqsim) adalah manusia, maka sumpah yang menggunakan obyek makhluk Tuhan, terlarang, karena bisa membawa pada kekufuran atau kemusyrikan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menegaskan : Man halafa bighair Allah faqad asyraka (barang siapa yang bersumpah dengan (menyebut) selain Allah, maka ia musyrik). Atas dasar hadits tersebut, di dalam bersumpah, seseorang dilarang menyebutkan muqsam bih selain Allah SWT.
Seperti dijelaskan sebelumnya, manusia biasanya bersumpah dengan sesuatu yang diagungkan dan dihormati, yakni sesuatu yang membuatnya bisa ditimpa suatu akibat buruk apabila ia melanggar sumpahnya. Hal itu tidak mungkin terjadi pada sumpah-sumpah Tuhan. Dengan sumpah-Nya Tuhan tidak akan menerima akibat apa pun. Kita berlindung kepada Allah dari adanya anggapan yang keliru, yaitu bahwa Allah bisa menerima akibat-akibat tertentu disebabkan oleh sumpah-Nya. Menurut Muhammad Abduh, sebenarnya Allah tidak sedikit pun perlu menguatkan pernyataan-Nya dengan bersumpah dengan sesuatu yang merupakan produk kuasa-Nya (makhluk-Nya) sendiri. Hal ini mengingat tak ada satu pun dalam wujud ini yang laik dihargai apabila diperbandingkan dengan penghargaan yang seharusnya diberikan kepada-Nya[8]
Akan tetapi, mengapa di dalam Al-Qur’an dijumpai sumpah-sumpah Tuhan yang menggunakan obyek dari makhluk-Nya? Pertanyaan ini muncul terutama disebabkan oleh adanya beberapa hadits Nabi yang mengandung larangan kepada manusia bersumpah dengan selain nama-Nya karena akan membawa pada kemusyrikan. Lalu, apakah antara Al-Qur’an dan al-Hadits terjadi kontradiksi?
Para ulama telah beruasaha melakukan penyelesaian dalam rangka menghilangkan adanya kesan pertentangan antara keduanya. Pertama, bahwa pada sumpah-sumpah yang menggunakan muqsam bih berupa makhluk, seharusnya ada kata yang dibuang, yaitu kata rabb, sehingga yang dimaksud dengan, misalnya sumpah Tuhan wa al-Tin (Demi buah Tin) sebenarnya adalah wa rabb al-Tin (Demi Tuhan buah Tin); kedua, bahwa nama-nama makhluk yang digunakan Tuhan dalam sumpah-Nya itu merupakan sesuatu yang amat penting, mengagumkan, dan mendapatkan perhatian besar bangsa Arab, sehingga mereka pun menggunakannya dalam bersumpah. Al-Qur’an hadir dengan membawa cita rasa sastera, wawasan pengetahuan dan tradisi mereka, maka Tuhan pun menjadikan benda-benda itu sebagai obyek sumpah; dan ketiga, obyek yang digunkan dalam bersumpah harus merupakan sesuatu yang diagungkan atau disucikan dan derajatnya lebih tinggi dari yang menggunakan, sedangkan kenyataannya tidak ada lagi sesuatu yang lebih tinggi dari Tuhan. Maka, ia dapat saja dengan bebas menggunakan segala sesuatu sebagai obyek sumpah, baik nama diri atau zat-Nya maupun makhuk-Nya.
Jadi, meskipun terdapat sumpah-sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an yang menggunakan makhluk-Nya sebagai obyek sumpah, tetapi manusia tetap dilarang menggunakan hal yang sama. Ketentuan sepeerti itu hanya berlaku bagi Tuhan. Tuhan bisa saja melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya, termasuk bersumpah dengan zat-Nya atau dengan ciptaan-Nya. Pertanyaannya adalah mengapa Tuhan hanya memilih dan menetapkan sebagian saja dari ciptaan-Nya, tidak semuanya, dan mengapa obyek-obyek tertentu yang dipilih, bukan yang lain? Tentu saja hal tersebut mempunyai tujuan dan maksud tertentu. Karena itu, pertanyaan lanjutannya yang perlu segera mendapatkan jawaban adalah apakah hikmah di balik pilihan Tuhan terhadap sebagian makhluk-Nya untuk digunakan sebagai obyek dalam sumpah-Nya?
Ibn Abi al-Ishba, juga Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan : wa aqsamuhu ta’ala bi ba’dhi makhluqatihi dalil ’ala azhim ayatih, bahwa sumpah-sumpah Tuhan dengan (menyebut) sebahagian makhluknya menunjukkan bahwa makhluk tersebut termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang penting/agung. Dalam kata lain, hal yang disebut dalam posisi muqsam bih itu memang sesuatu yang amat penting yang perlu diperhatikan dan di apresiasi oleh manusia yang merupakan mitra bicara Tuhan dalam sumpah-Nya.
Dengan demikian, manakala Tuhan bersumpah, misalnya dalam QS. Al-Syams/ 91 : 1, wa al-Syamsi, maka terjemahan ungkapan tersebut yang paling tepat adalah ”alangkah pentingnya matahari itu”, bukan ”demi matahari”. Pemahaman serupa itu diambil sejalan dengan maksud penyebutannya oleh Tuhan dalam sumpah-Nya itu, yaitu sebagai ”dalil ’ala azhim ayatih” (dalil bahwa ia termasuk ayat Tuhan yang agung/penting). Sasarannya adalah agar manusia benar-benar dapat menangkap makna pentingnya keberadaan matahari itu dalam keseluruhan tata kehidupan makhluk seluruhnya, khususnya manusi. Dalam langkah selanjutnya, manusia diharapkan mampu melakukan penelitian untuk mengetahui secara akademik di mana letak atau posisi pentingnya keberadaan matahari. Sampai sekarang, sudahkah umat Islam mampu menangkap makna penting dari keberadaan matahari? Sudah mampukah umat Islam menangkap dengan tepat makna pentingnya kata ”al-’Ashr” yang digunakan sebagai muqsam bih dalam sumpah Tuhan pada QS. Al-’Ashr/103, ayat 1 ? Sudahkah umat Islam memahami keseluruhan muqsam bih dalam sumpah-Nya yang menyebutkan makhluk-makhluk-Nya? Wallahu a’lam. Namun seyogianya umat Islam, terutama para pakar Al-Qur’an, memahami makna pentingnya muqsam bih-muqsam bih dalam sumpah Tuhan itu, agar mereka mampu menangkap yang lebih dalam lagi, yaitu ”wa aqsamuhu ta’ala bi ba’dhi makhluqatihi tufidu li’uzhmat al-Khaliq (bahwa sumpah-sumpah Tuhan dengan menyebutkan sebagian makhluk-Nya membawa faedah pada pengagungan Tuhan Maha Pencipta). Inilah makna terpenting dari sumpah-sumpah Tuhan yang menggunakan makhluk ciptaan-Nya.
Muhammad Abduh berkomentar, sekiranya kita meneliti kembali sumpah-sumpah Tuhan dalm Al-Qur’an, akan tampak bahwa benda-benda yang digunakan Tuhan bersumpah mestilah merupakan hal-hal yang diremehkan karena ketidaktahuan akan faedahnya dan ketidakmampuan dalam menangkap ’ibrah (pelajaran) yang dikandungnya, atau disebabkan oleh kebutaan terhadap kandungan hikmah Allah dalam ciptaan-Nya, atau terjadi persepsi yang keliru terhadapnya, sehingga melampaui kebenaran yang telah ditetapkan oleh-Nya terhadapnya.

E.     Peranannya dalam memahami/menafsirkan al-Qur’an
Manna al-Quththan[9] berargumentasi manfaat sumpah merujuk disiplin ilmu balaghah, al-ma ‘ani. Dalam ilmu ini ada tiga tingkatan psikologis mukhatab atau lawan bicara yaitu ibtidai yaitu;
                              1.            Lawan bicara tidak ada asumsi apa-apa terhadap mutaknllim (pengujar dalam ‘tradisi lisan atau penulis’ dalam ‘tradisi tulisan’).
                              2.            Kondisi mukhatab itu ragu-ragu terhadap ucapan mutakkallim, maka dinamakan thalaby.
                              3.            Mukhatab tidak percaya terhadap ucapan pengujar dinamakandengan inkary.
Pada kondisi yang psikologis thalaby dan inkary dibutuhkan suatu penegasan. Keadaan psikologis manusia inilah al-Qur’ an merangkumnya dengan konsep qasam yang mengadaptasi terhadap kebiasaan (bahasa) Arab. Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan bahwa faedah dalam bersumpah adalah:
                              1.            Menjelaskan tentang agungnya al-muqsam bihi (yang dijadikan landasan atau dasar sumpah).
                              2.            Menjelaskan tentang pentingnya al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) dan sebagai bentuk penguat atasnya.[10]
Oleh karena itu, tidaklah tepat bersumpah kecuali dalam keadaan berikut:
                              1.            Hendaknya sesuatu yang disumpahkan (al-muqsam ‘alaih) itu adalah sesuatu yang penting.
                              2.            Adanya keraguan dari mukhaththab (orang yang diajak bicara).
                              3.            Adanya pengingkaran dari mukhaththab (orang yang diajak bicara)
Terlepas dari apakah argumen yang dipaparkan Mana’ul Al-Quththan dan Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tersebut apologis, secara hermeneutis sebenamya setiap pengarang, teks dan pembaca tidak terlepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami ‘sejarah’ yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna.
Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir) berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengigat antara lain gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang menafsirkan ajaran agama dari al-Qur’ an yang tidak ada batas akhimya. Jika logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan Tuhan yang universal namun terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Arab, ini pun sudah tereduksi Arab versi Quraisy, bukan sebagai bahasa Arab lingua franca). Hanya saja, dalam psikologi linguistis dikatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk omongan atau tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya berada jauh ke depan. bukan berhenti apa yang diucapkan ketika itu. Artinya kebenaran itu bersifat intensional dan teleologis.[11]
Ada pertanyaan yang menarik yang dilontarkan oleh az-Zarkasyi dan as­Sayuthi. Apa gunanya sumpah dalam al-Qur’an bagi orang beriman, yang pasti percaya firman Tuhan. Atau sebaliknya, percuma saja kalimat sumpah dalam al­Qur’an yang ditujukan kepada orang kafir. Bagaimanapun juga mereka tidak percaya kebenaran al-Qur’an. As-Sayuthi[12] berargumentasi bahwa al­Qur’ an diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan kebiasaan bangsa Arab (ketika itu) menggunakan al-qasam ketika menguatkan atau menyakinkan suatu persoalan. Sedangkan Abu al-Qasim al-Qusyairi berpendapat al-qasam dalam al­-Qur’an untuk menyempumakan dan menguatkan argumentasi (hujjah). Dia beralasan untuk memperkuat argumentasi itu bisa dengan kesaksian (syahadah) dan sumpah (al-qasam). Sehingga tidak ada lagi yang bisa membantah argumentasi tersebut, seperti QS.3:18 dan QS.1O:53.[13]
Alasan yang dipakai as-Sayuthi terjadi persoalan serius kalau memakai teori sastra kontemporer aliran strukturalisme dengan konsep penulis, teks dan pembaca. Dalam teori resepsi strukturalis pembaca penulis dianggap”’mati’, yang menentukan makna (meaning) adalah pembaca. Secara tidak disadari as-Sayuthi menganggap Tuhan yang menciptakan penanda (signifier) dalam menghasilkan tanda (sign) mengikuti alur dan kebiasaan dari pembaca petanda (reader/signified) signified Padahal dalam konsep teologi Sunni, kalam Tuhan sebagai penanda dan ‘menentukan’ petanda. Berbeda dengan alasan al-Qusyairi fungsi sumpah dalam al-qur’ an hanya penegasan argumentasi untuk pembaca (reader) ayat suci sebagai pembawa ‘tawaran’ wacana (discourse), yang mempengaruhi kepada pembaca.
Namun sebagai kitab suci seperti yang digagas Mohammed Arkoun[14], al-Qur’an adalah sebuah teks yang terbuka dan teks yang menelaah berbagai situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih, hidup dan mati. Pemyataan Arkoun ini mengisyaratkan adanya dialektika aan psikologis manusia yang ‘diajak bicara’.
Sumpah (qasam) dalam ucapan sehari-hari merupakan salah satu cara untuk menguatkan pembicaraan yang diselingi dengan pembuktian untuk mendorong lawan bicara agar bisa menerima/mempercayainya. Apakah makna sumpah dari Allah SWT? Abu Al-Qasim Al-Qusyairi menjawab bahwa sesuatu dapat dipastikan kebenarannya dengan dua cara, yaitu persaksian dan sumpah. Kedua cara itu dipergunakan Allah dalam Al-qur’an sehingga mereka tidak memiliki hujjah lagi untuk membantahnya.
Al-qur’an diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah fahaman, menguatkan berita, dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Qur’an al-Karim diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam Kalamullah untuk menghilangkan keraguan, kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar dan menerapkan hukum dengan cara paling sempurna.

F.     Penutup
A.    Kesimpulan
Pembahasan tentang Aqsam dalam Alquran yang dapat penulis sampaikan melalui makalah sederhana ini. Dan sebagai penutup, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan di sini, antara lain:
                                       1.   Jiwa manusia dalam menerima kebenaran dan tunduk terhadap cahayanya berbeda-beda, ada yang segera menyambut kebenaran tersebut dengan suka cita, namun banyak pula yang mengingkari kebenaran tersebut secara terang-terangan, maka untuk tipe manusia yang kedua ini, Allah SWT menggunakan kalimat qasam atau sumpah untuk menguatkan dan menegaskan ungkapan kalimat-Nya yang diiringi dengan bukti yang nyata, sehingga dengan begitu orang-orang yang semula ingkar akan kembali mengakui kebenaran tersebut.
                                       2.   Unsur-unsur dalam sighat qasam ada tiga, yaitu: (1) fi’il yang digunakan di dalam qasam, (2) muqsam bih (zat atau isim yang mengiringi sumpah tersebut); dan (3) muqsam alaih (kondisi yang melatar-belakangi terjadinya sumpah tersebut).
                                       3.   Sumpah (qasam) terdiri dari dua jenis; yakni pertama yang Nampak secara jelas fi’il qasamnya, atau yang disebut juga dengan Zhahir; dan yang kedua yang tidak jelas dan tersirat, baik fi’il qasam-nya maupun muqsam bih-nya, yang kedua ini disebut dengan Mudhmar.
                                       4.   Allah SWT berhak menggunakan Dzat-Nya atau nama-nama makhluk-Nya di dalam bersumpah, tapi manusia dilarang menggunakan sumpah selain dengan menggunakan nama Allah SWT. Barangsiapa yang bersumpah selain dengan nama Allah, maka dia termasuk musyrik.
                                       5.   Meski dibolehkan bersumpah, tapi hendaklah manusia menggunakan ‘sumpah’ pada situasi dan kondisi tertentu, yakni bila mukhattab atau lawan bicara termasuk dalam kategori “inkari”, yakni yang mengingkari kebenaran dari sebuah khabar (berita).
Kesimpulan Aqsamul Qur’an adalah salah satu kajian dalam Ulumul al-Qur’an yang membahas tentang pengertian, unsur-unsur, bentuk-bentuk, tujuan, serta manfaat (faedah) sumpah-sumpah Allah, dalam menegaskan suatu pernyataan tertentu, yang terdapat di dalam Al-Qur’an, dimana sumpah-sumpah dalam al-Qur’an itu menyebut nama Allah atau ciptaan-Nya sebagai Muqsam bih. Aqsamul Qur’an mempunyai tujuan untuk memberikan penegasan atas suatu informasi yang disampaikan dalam Al-Qur’an atau untunuk memperkuat informasi kepada orang lain yang mungkin sdang mengingkari suatu kebenarannya, sehingga informasi itu dapat diterimanya dengan penuh keyakinan.
B.     Saran-saran
Alhamdulillah dengan izin Allah, pemakalah telah dapat menyelesaikan pembahasan ini. Oleh karena itu pemakalah minta kritikan dan saran kepada peserta diskusi  serta menyumbangkan pikiran terhadap pembahasan yang telah pemakalah bahas dengan tujuan agar makalah ini dapat disempurnakan.

 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shaleh, Ulumul Qur’an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,  2000

Al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi Ulumil Qur’an, terj. Aunar Rafiq El-Mazni, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. IV, 2009

Anonim, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Yogyakarta: LidS, 1996

Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS. 1994

asy-Syafi’i, Jalaluddin as-Syuyuthi, Al-Itqaan fi Ulumil Qur’an, Beirut: Darul Fikr, 1429H/2008M

Hamzah, Muchotob, Studi Al-Qur’an Komprehensif, Yogyakarta: Gama Media, 2003

Hasnah, Hasan Zaini dan Radhiatul, ‘Ulum al-Qur’an, Batusangkar, STAIN Batusanggkar, 2011

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989



[1]Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur’an Komprehensif, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 207 
[2]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), h. 341
[3]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, terj. Aunar Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. IV, 2009), h. 364
[4]Manna’ Al-Qaththan, Ibid., h. 365
[5]Jalaluddin as-Syuyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur’an, (Beirut: Darul Fikr, 1429H/2008M), h. 487
[6]Hasan Zaini dan Radhiatul Hasnah, ‘Ulum al-Qur’an, (Batusangkar, STAIN Batusanggkar, 2011), h. 157
[7]Manna Al-Khaththani, Ibid., h. 375
[8]Muhammad Abduh, Tafsir Juz ’Amma, (t. th,), h. 9-10

[9]Ibdi., h. 213  
[10]Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,  2000),  h. 205
[11]Anonim, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LidS, 1996), h. 26
[12]Jalaluddin ‘Abdrurrahman ibn Abu Bakar as-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulum Al- Qur ‘an. Terj: Abdul Wahab, (Yogyakarta: Wacana Persada, 2000),  h. 259
[13]Ibid., h. 259
[14]Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, (Jakarta: INIS. 1994), h. 195

1 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More